Rabu, 05 Mei 2010

My Brothers, I always Love You

Semua orang tua pasti mengharapkan anak-anaknya sukses dan berprestasi. Biasanya anak sulung yang dijadikan patokannya. Adik-adik si sulung pasti diharapkan setidaknya menyamai apa yang dicapai oleh si sulung, kalau bisa bahkan melebihi si sulung.

Sebagai anak sulung, selama ini aku merasa bahwa aku menetapkan standar yang terlalu tinggi  untuk adik-adikku. Bagaimana perasaan adik-adikku saat mereka dibanding-bandingkan dengan diriku? Mungkin rasanya menyakitkan. Umumnya orang tua akan bangga dengan prestasi anaknya seperti mendapatkan ranking di kelas, juara umum di sekolah, juara lomba matematika, dan lain-lain. Mungkin itulah yang menjadi tolak ukur keberhasilan sang anak.

Aku tidak berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Mungkin bisa dikatakan bahwa aku adalah orang pertama yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Errr, sebetulnya tidak juga sih, tetapi begitu mencolok berhubung aku kuliah di ITB. Sebagian sepupuku hanya sekolah sampai tingkat SD, semakin lama meningkat sampai SMA. Akan tetapi, tujuan mereka sekolah adalah untuk sekedar mendapatkan ijazah karena zaman sekarang untuk kerja di pabrik saja harus punya ijazah SMA.

Aku pikir karena adik-adikku memiliki gen yang sama dengan diriku, maka mereka akan sepertiku, mengikuti jejakku. Namun, secara akademis mereka sedikit jauh di bawahku. Sempat aku berpikir bahwa aku adalah pencilan di keluargaku, aku adalah kejadian langka. Mengapa adik-adikku bahkan tidak seperti diriku? Apakah ada yang salah dengan diriku?

Mungkin karena seringnya dibandingkan dengan diriku, adik-adikku tidak percaya diri untuk mengungkapkan pendapatnya, keinginannya, atau pilihannya. Setiap kali aku atau ayahku bertanya kepada mereka mengenai sekolah mana yang mereka inginkan, mereka selalu menjawab, "Terserah." Seakan-akan mereka pasrah dengan masa depan mereka. Mungkin juga mereka takut akan mengecewakanku dan orang tuaku jika mereka mengutarakan keinginan mereka.

Adikku yang kedua sudah dinyatakan lulus UN. Sekarang kami sekeluarga sedang bingung  memikirkan langkah selanjutnya untuk dia. Orang tuaku ingin dia kuliah di jurusan yang berprospek cerah dalam karir, sedangkan aku ingin dia masuk jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Aku ingin dia menikmati masa kuliahnya dengan penuh kebahagiaan. Namun, kami tidak tahu apa bakatnya. Dia pernah mengatakan bahwa suatu saat dia ingin membuat robot, adikku ini sepertinya terlalu banyak nonton film. Dia juga suka main game. Hampir setiap hari dia main game, sepertinya dia lebih banyak main game daripada belajar. Bagi sebagian orang game adalah suatu hal yang negatif yang membuat anak-anak malas belajar, menurutku juga begitu karena aku sempat kelabakan dikejar-kejar deadline tesis karena kebanyakan main game.

Adikku memainkan berbagai macam game mulai game action, strategi, RPG, sampai logika. Dia dapat menyelesaikan beberapa game dengan singkat. Sepertinya adikku berbakat dalam hal game. Kadang-kadang dia bercerita bagaimana dia bisa dengan mudah menyelesaikannya. Kupikir caranya menyelesaiakan game tersebut brilian, bahkan hal yang tak mungkin terpikirkan olehku. Secara logika dia jauh lebih unggul dariku, dari segi kreativitas juga. Cara berpikirnya lebih luas dariku yang berpikiran sempit ini. Aku teringat dulu saat dia masih SD dia pernah memperbaiki tamagochinya yang rusak, entah bagaimana caranya. Subhannallah, adikku keren sekali. Bakatnya bukan dalam hal akademis, tetapi lebih luar biasa menurutku. Kami tidak bisa dibandingkan karena bakat kami berbeda. Tidak ada yang salah denganku, tidak juga dengan keluargaku. Lain hal lagi dengan adik bungsuku, dia lebih menonjol dalam hal kepemimpinan dan bisnis. Ayahku juga luar biasa, walaupun beliau bukan insinyur, pendidikannya tidak tinggi, tetapi bisa memperbaiki beberapa barang elektronik. Ayahku bukan tukang reparasi sih, beliau hanya memperbaiki barang-barang elektronik di rumah, lumayan kami tidak perlu memanggil tukang reparasi untuk memperbaiki barang elektronik di rumah. Lalu ibuku? Ibuku juga hebat. Beliaulah manajer kami, yang mengatur semua kebutuhan kami.

Jadi, ke mana adikku akan melanjutkan studinya? Sampai saat ini belum diputuskan.

*narsis bener ga sih...

2 komentar:

# sunuhadi # mengatakan...

Well. Bingung juga yah untuk memproyeksikan masa depan Adik sendiri. 2 tahun lalu kebingungan yang sama juga melanda keluarga kami, tapi untungnya keputusan kelanjutan masa depan adik saya sudah jelas sebelum dia lulus. Waktu itu, karena keterbatasan biaya mau dimasukkan ke program D2 atau D3 yang siap kerja. Tapi dia nekad mau lanjut kuliah S1... Ya sudah. Kami turuti keinginannya. Selanjutnya mau ambil jurusan apa? Adik saya juga tidak terlalu berbakat dalam bidang akademis. Baca aja malas, apalagi disuruh nulis. Hehe. Matematika pas-pasan, bahasa juga gak jago. Hanya saja adik saya ini suka kegiatan kemasyarakatan, ikut ini-itu kesana kemari, biarpun prestasinya biasa aja, tapi sering dimintain tolong teman-temannya (kadang sampai heran, kok temannya percaya yah? hihi). Berarti dia suka jurusan yang banyak kegiatan lapangannya, banyak surveynya, banyak jalan-jalannya. Akhirnya saya sarankan untuk masuk fakultas geografi lingkungan, alhamdulillah lulus dan meskipuan IP nya tidak bagus-bagus amat, tapi dia tidak tertekan dengan kuliah.

Kalau tidak tau bakat sendiri, coba tanyakan ke sahabat dekatnya, apa sih kelebihannya?

Apapun jurusannya, asalkan menikmati dan ditekuni insyaAllah akan ada jalan untuk menuai rejeki Illahi.

Semoga cepet dapat pencerahan, Ya.
** makasih sering mengunjungi blog saya ^_^ **

Ecafery's Sister mengatakan...

Makasih ^.^

Setidaknya adik mas sunu punya keinginan sendiri. Mungkin adik saya juga punya keinginan sendiri, tapi mungkin tidak berani mengungkapkannya kepada keluarga...